Cerpen: Flashback

Aku menyesap tetes terakhir jus stroberi dari gelasku sambil menatap pria yang sedang sibuk berbicara di telepon genggamnya di dekat jendela di sudut ruangan restoran.
“Aku menyesal tidak segera mengantarmu pulang malam itu.”
Aku mematung. Kata-kata tadi keluar dari mulut pria di hadapanku. Kamu.
“Sudah, ra?” Pria di sudut jendela tadi sudah berdiri di sampingku. “Aku dapat sms dari ibu, beliau ingin datang berkunjung ke rumah. Sebaiknya kita pulang sekarang.”
Aku mengangguk dan berdiri.
“Nif, lo masih mau di sini atau…?”
“Gue masih mau di sini, Yan.”
“Kalau begitu kita duluan ya, Nif.”
Kamu mengangguk. “Silakan. Hati-hati di jalan ya, Yan, Ra.”
Aku menggamit tangan pria di sampingku dan berjalan keluar restoran bersamanya. Aku berbalik tepat sesaat sebelum pintu restoran tertutup dan menyadari tatapanmu mengarah padaku. Kata-katamu tadi membuat memoriku terbang mengingat hari-hari yang telah lalu.
 ***
Aku tidak tahu sejak kapan aku mengagumimu. Ingin memilikimu. Yang pasti aku terpesona akan kebaikan hatimu.
Semua bermula dari kepanitiaan itu. Aku baru mengenalmu. Aku bukan tipe wanita yang dengan mudah bergaul dengan lawan jenis. Namun dalam waktu singkat kau buatku merasa nyaman berteman denganmu. Mungkin itu adalah bakat alami mu, membuat setiap orang yang mengenalmu merasa nyaman denganmu.
Suatu hari aku hampir pulang berjalan kaki dari kampus, tapi kau mau memberi ku dan beberapa teman lain tumpangan dengan mobil mu. Suatu hari aku mengikuti sebuah perlombaan kau menyemangatiku. Tindakan-tindakan kecil, perhatian-perhatian kecil dari dirimu itu yang membuatku menyukaimu. Ini adalah cinta terpendam.
Tapi di hari terakhir kepanitiaan itu, saat kita terpaksa pulang larut malam, aku kecewa. Aku tidak memintamu untuk mengantarku walaupun hanya sampai stasiun. Temanku yang memintamu dan kamu mengiyakan. Aku menunggu. Lama aku menunggu sampai temanku tak sabaran. Demi temanku yang ingin pulang cepat, aku menghampirimu dan bertanya kapan kamu akan pulang. Tapi kamu mengabaikanku. Tidak seperti biasa.
Tahukah kamu aku mondar-mandir gelisah menunggumu? Akhirnya, melihat kegelisahanku, temanmu yang lain bersedia mengantarku sampai stasiun. Sejak saat itu aku menjaga jarak denganmu. Teka-teki sikapmu malam itu masih menggelayuti pikiranku sampai suatu hari teman dekatku sekaligus teman dekatmu menjawab pertanyaanku.
Teman wanita kita ini bercerita bahwa dia jatuh cinta padamu begitu pun kamu padanya. Dia juga bercerita bahwa ternyata malam itu kamu mengantarnya pulang. Dan itu cukup bagiku untuk melupakan semua perasaanku padamu. Bagaimana bisa aku mencintai seseorang yang dicintai oleh teman dekatku? Aku tidak pernah bisa.
Tiga tahun telah berlalu sejak masa-masa itu. Aku sudah bertemu dengan cinta sejatiku. Temanmu yang menggantikanmu mengantarku ke stasiun malam itu ternyata menjadi teman hidupku.
Akhirnya hari ini kita dapat bertemu karena sebuah kebetulan di sebuah restoran dekat kantorku dan kamu mengatakan kalimat itu. Sampai di luar restoran, aku menatap langit, merasakan panasnya matahari di wajahku. Aku mendekatkan bibirku pada telinga suamiku dan berbisik, “Aku cinta padamu dan tidak ada satu pun yang dapat mematahkan itu.”

Komentar